Ruang Digital dan Lansia
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Vinanda
Reviewer: Heni Mulyati
Gambaran Lansia dan Dunia Digital
Pandemi Covid-19 yang terjadi telah membawa sebuah peradaban baru bagi manusia. Perubahan terjadi, ketika adaptasi lingkungan serta adaptasi individu dibutuhkan dalam menyikapi krisis yang terjadi. Tidak hanya sehat secara jasmani namun juga sehat secara psikis. Pemerintahan setiap negara memberlakukan pembatasan sosial dan meminta masyarakat melakukan segala aktivitas dari rumah mulai bekerja, belajar, dan beribadah pun dilakukan dalam rumah.
Dampak dari perubahan ini secara tidak langsung membentuk interaksi digital. Sebenarnya interaksi digital bukan sebuah kegiatan baru, sebelumnya pun masyarakat sudah banyak yang menggunakan digital sebagai alat berinteraksi. Namun saat pandemi Covid-19 interaksi digital menjadi sebuah kegiatan utama. Segala aktivitas berubah menjadi digitalisasi. Dampak perubahan ini dirasakan oleh semua kalangan tidak terkecuali lansia.
Lansia menurut WHO dibagi menjadi empat tahapan yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) > 90 tahun. Lansia merupakan salah satu kelompok rentan yang dikhawatirkan mudah tertular Covid-19 sehingga lansia menjadi salah satu kelompok yang dibatasi gerak dan aktivitas di luar ruangan. Pembatasan aktivitas inilah yang membuat lansia mau tidak mau memanfaatkan media digital sebagai alat bantu berkomunikasi dan berinteraksi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk lansia di Indonesia yang menggunakan internet mengalami peningkatan drastis di masa pandemi ini. Tahun 2019 lansia yang menggunakan internet sebanyak 7,94%, di tahun 2020 mengalami peningkatan drastis mencapai 11,44%. Data ini menggambarkan bahwa penggunaan internet oleh lansia digunakan sebagai salah satu sarana dalam berhubungan secara sosial demi kesejahteraan diri mereka.
BPS tahun 2021 dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) “ada ketimpangan digital yang terjadi antarkelompok umur di Indonesia, di mana hanya sekitar 10% penduduk Indonesia usia 65 tahun ke atas yang mengakses internet.”
Lansia yang menggunakan internet dapat meningkatkan fungsi komunikasi interpersonal, fungsi kognitif, serta kemandiriannya dalam mengakses informasi dan beraktivitas digital. Tidak hanya aktivitas komunikasi namun juga akses pelayanan pemerintah, kegiatan jual beli, dan konsultasi medis.
Perubahan ini memberikan kemudahan namun juga menghidupkan alarm kewaspadaan untuk lansia. Sehingga lansia juga membutuhkan peningkatan literasi digital. Literasi digital bukan hanya kemampuan individu dalam menggunakan teknologi, namun juga berkaitan dengan sikap dan perilaku bijak di ruang digital.
Pembekalan bagi Lansia
McDonough (2016) mengatakan bahwa lansia atau kelompok usia lebih tua memiliki ketimpangan digital seperti rendahnya literasi digital, tecnofobia, dan keengganan menggunakan serta hambatan fisik. Oleh karena itu lansia menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kemajuan teknologi dan banjir informasi. Salah satu kebiasaan lansia yang berhubungan dengan informasi adalah mudah memercayai informasi yang diterima dan mudah membagikan informasi yang belum tentu kebenarannya.
Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia) dengan dukungan Google.Org melaksanakan program Tular Nalar yang salah satu fokus programnya meningkatkan literasi digital lansia dalam penggunaan teknologi digital. Mafindo Mojokerto melaksanakan program Akademi Digital Lansia ke beberapa tempat salah satunya di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Pesertanya tidak hanya jemaat GKJW, namun juga masyarakat sekitar gereja. Peserta yang hadir diberikan pelatihan cara penggunaan teknologi digital dengan, aman, efektif, dan bijak. Serta pelatihan cara memilih informasi dengan sumber yang benar.
Salah satu peserta pelatihan Bapak Hari perwakilan dari GPDI mengapresiasi dilaksanakannya pelatihan ini. “Pelatihan ini membantu lansia memahami perkembangan media sosial, membantu kami memilah informasi, memilah berita yang disampaikan apa benar dan tidaknya. Kami mendukung gerakan dari Mafindo agar bisa membantu banyak orang, agar orang tidak mudah terkena hoaks, dan kami pemimpin gereja akan menyampaikan materi pelatihan ini pada jemaat kami,” terangnya.
Puradian Wiryadigda M.A sebagai Koordinator Fasilitator Akademi Digital Lansia Mojokerto menyampaikan dasar pelaksanaan kegiatan karena lansia masih dianggap sebagai salah satu kelompok rentan yang mudah terkena dampak negatif dari hoaks dan penipuan digital. Ia juga menyampaikan bahwa Mafindo akan melakukan pendampingan setelah pelatihan dengan target tidak hanya lansia, tapi juga orang terdekat lansia. Harapannya pendamping lansia dapat memberikan pendampingan saat lansia menggunakan internet.***
- Published in Posts
Pengetahuan Kok Palsu?
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Vinanda
Reviewer: Heni Mulyati
Pernahkah kita mengecek beranda media sosial kita? Berapa banyak teman di media sosial kita yang membagikan informasi? Media sosial ramai dengan berbagai unggahan makanan, promosi jualan, bahkan informasi. Informasi yang dibagikan pun beragam, informasi terkait perkembangan Covid-19 hingga informasi remeh temeh yang belum jelas kebenarannya. Siapa yang bisa menolak dengan pernyataan “masyarakat Indonesia terkenal dengan perilaku berbaginya”?
Konteks berbagi merupakan sebuah perilaku lumrah di kalangan kita. Kehidupan bertetangga rasanya kurang afdol kalau tidak ada kumpul-kumpul berbagi cerita dan kudapan. Kebiasaan berbagi “kudapan” ini juga terbawa di kehidupan bermedia sosial kita. Hampir setiap hari beranda media sosial ramai dengan unggahan berbagi “kudapan” versi online, gurihnya informasi yang berbalut informasi mimpi, manisnya informasi hoaks, dan berbagai unggahan lainnya.
Budaya Berbagi dan Kroscek
Tidak ada yang salah dengan budaya berbagi. Namun, coba kita tengok budaya berbagi di media sosial, berapa banyak unggahan yang dibagikan sukses membuat keramaian? Berapa banyak ujaran kebencian yang dibalut dengan pengetahuan palsu yang menyajikan kudapan manis ataupun gurih. Kita yang akrab dengan media sosial berteman erat dengan budaya berbagi.
Konten apapun yang muncul di beranda, sedikit banyak memberikan pengaruh pada pola pikir dan bersikap kita. Kesadaran akan hal itu menuntut kita untuk mampu kroscek informasi. Kesadaran untuk proses kroscek ini dimulai dengan pertanyaan awal “ siapa sumber informasi itu?” Pertanyaan siapa ini membuka akan pertanyaan-pernyataan kroscek lainnya.
Tidak lupa unggahan yang ramai di media sosial, belum jelas kebenarannya bisa saja informasi yang kita akses merupakan pengetahuan palsu. Kita harus pandai untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, tentu saja tujuan dari pengecekan ini untuk membedakan fakta atau opini sebuah informasi. Kroscek informasi erat kaitannya dengan sikap skeptis. Bukan suatu hal yang memalukan namun perilaku yang dibutuhkan saat ini.
Pandemi dan Pengetahuan Palsu
Hampir dua tahun lebih kita mengalami pandemi Covid-19 dan disajikan dengan berbagai informasi. Informasi perkembangan virus Covid-19 hingga pengobatan Covid-19. Dibutuhkan keahlian untuk memilah informasi. Karena, tanpa kita sadari sejak pandemi Covid-19 bermunculan pakar-pakar yang eksis di media sosial dengan berbagai macam konten informasinya. Bahkan WHO mengumumkan pandemi Covid-19 juga dibarengi dengan fenomena infodemi. Infodemi diartikan sebagai meluapnya jumlah informasi Sebagian informasi akurat dan sebagian tidak yang menyebar bersamaan dengan wabah penyakit.
Menyebarnya pengetahuan palsu memberikan konsekuensi tersendiri, dalam konteks pandemi penyebaran pengetahuan palsu bisa menghambat upaya penanganan Covid-19 dan berakibat fatal bagi kita. “Covid-19 hanya flu biasa”, “minum minyak kayu putih bisa menyembuhkan Covid”, “Vaksin mengandung microchip” ini hanya tiga dari ribuan hoaks yang tersebar di masa pandemi.
Bisa dibayangkan berapa banyak masyarakat kita yang mempercayai pengetahuan palsu ini. Ditelisik dari laporan pemetaan Mafindo tahun 2020, hoaks yang berhasil diklarifikasi sebanyak 2.298 hoaks, dan hampir 1.000 lebih hoaks mengenai Covid-19. Begitu juga tahun 2021 dan 2022 hoaks yang berhubungan dengan Covid-19 dan juga penanganannya cukup banyak beredar di media sosial.
Penulis berdiskusi mengenai hoaks Covid-19 dengan beberapa mahasiswa. Hampir semua mahasiswa menjawab memercayai “meminum minyak kayu putih memberikan kesembuhan saat terkena Covid-19.” Bahkan dari hasil diskusi terkuat salah satu mahasiswa pernah minum dua botol minyak kayu putih agar hasil Swab PCR-nya negatif. Namun, meskipun sudah menghabiskan dua botol tersebut, hasil pemeriksaan masih menunjukkan positif Covid-19.
Sumber Informasi dan Pengaruhnya
Pengetahuan yang beredar di media sosial seringkali bersumber dari tiga akun utama. Akun media pers daring atau official, akun “influencer”, dan akun pengguna biasa. Hampir semua media konvensional memiliki akun di media sosial. Tapi seringkali kita mudah terkecoh dengan media pers daring ini. Banyak media abal-abal yang meniru media official untuk menarik pengguna media sosial. Fenomena ini tidak lepas dari pengetahuan palsu.
Maraknya akun-akun influencer yang berkembang di media sosial menjadi salah satu penyumbang beredarnya pengetahuan palsu. Unggahan dari influencer akan menjadi contoh dan bahan pertimbangan dalam perilaku masyarakat. Namun bukan berarti semua influencer memberikan pengaruh buruk, tetap ada kok yang membagikan pengetahuan fakta.
Pandai-pandai kita dalam memilih sumber informasi. Terlepas dari akun official dan akun influencer, di media sosial juga seringkali kita menemukan informasi yang dibagikan oleh pengguna media sosial “biasa”. Biasa yang diartikan sebagai akun pengguna pribadi yang memiliki jumlah pertemanan tidak sebanyak akun influencer. Pengguna tipe ini juga patut untuk di kroscek postingannya, jumlah likes, dan komentar dari temannya tercetak menjadi algoritma.
Hati-hati dengan Pengetahuan Palsu
Sumber-sumber postingan yang berseliweran di lini massa memberikan pengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan,mengapa? Karena memberikan sumbangan pada maraknya peredaran pengetahuan palsu, informasi yang diselimuti berita bohong. Peredaran opini secara tidak langsung menggiring masyarakat.
Informasi dapat beredar dengan cepat, karena kita mudah terpana dengan sesuatu yang “wow”. Kita menyukai informasi yang viral. Pengetahuan palsu menghantui ekosistem media sosial kita, dibutuhkan kemauan untuk mengecek informasi sebelum dibagikan. Kalau mau repot, cek sebelum membagikan. Jika tidak, stop informasi tersebut di beranda media sosial kita. Klik dan share dari kamu memberikan pengaruh pada pengguna lainnya.***
- Published in Posts
Menjaga Nalar Jelang Pemilu 2024
Penulis: Vinanda Febriani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Situasi Menjelang Pemilu 2024
Pemilu semakin dekat, bagaimana menjaga nalar publik jelang Pemilu 2024? Pemilu menjadi ajang kontestasi politik yang sangat sengit. Tak jarang berbagai perpecahan dan disinformasi menyerang baik kepada pihak penyelenggara maupun peserta Pemilu dari kalangan partai politik maupun individu.
Kita telah memiliki pengalaman yang sangat memprihatinkan pada Pemilu 2019 lalu, di mana polarisasi dan hasutan kebencian terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak demi memenangkan hasil perolehan suara pada saat pemungutan suara. Naasnya tak hanya berhenti di situ saja, hasutan kebencian terus menyebar hingga jauh setelah hasil pemilu ditetapkan, memengaruhi pola pikir sebagian masyarakat baik partisan maupun non-partisan politik.
Bagaimana Peran Anak Muda?
Sebagai anak muda, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa polarisasi sangat mengganggu stabilitas sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Hal ini membuat nalar kemanusiaan kita seringkali tidak lagi berfungsi secara optimal. Anak muda dihadapkan pada tiga pilihan, antara apatis, berpihak pada salah satu kubu, atau netral dan hanya berpihak kepada fakta.
Pemilu 2024 mendatang disebut-sebut akan memiliki pola yang hampir sama dengan pemilu sebelumnya, bahkan ada yang memprediksi akan lebih berbahaya. Sebetulnya berbahaya atau tidaknya peredaran informasi pada pemilu mendatang, akan sangat bergantung pada seberapa besar kualitas “mawas diri” masyarakat terhadap banjir informasi yang akan terus terjadi.
Meskipun kegiatan pelatihan literasi digital telah digalakkan di berbagai penjuru negeri ini berkolaborasi dengan berbagai pihak, akan tetapi jangkauan literasi digital tersebut masih dirasa belum cukup untuk mengedukasi masyarakat hingga ke lapisan bawah. Hal ini membuat kita sebagai kawula muda diharap bisa ikut berkontribusi dalam memberikan edukasi seputar literasi digital kepada masyarakat, khususnya terkait isu disinformasi jelang pemilu.
Anak-anak muda juga diharapkan dapat menjadi penggerak masyarakat bawah agar sadar terhadap pentingnya budaya cek fakta. Dengan demikian, Indonesia terhindar dari banjir informasi palsu yang membahayakan stabilitas sosial dan kebangsaan.***
- Published in Posts
Ikan Pari: Hoaks Lama Bersemi Kembali
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Fenomena Hoaks Ikan Pari
Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan dengan informasi bahwa ada seorang anak yang berubah menjadi ikan pari karena menendang orang tuanya saat sedang salat. Video yang beredar di Youtube dengan judul Durhaka Ikan Pari telah sukses menarik penonton sebanyak 209.000 orang. Berbagai versi video ikan pari ini beredar. Terdapat video yang beredar di Youtube sejak tahun 2012, bahwa ada anak yang durhaka terhadap orang tuanya berubah menjadi ikan pari, versi ini terjadi di kota Palembang Sumatera Selatan.
Versi lain beredar tahun 2007 melalui platform Youtube juga dengan narasi seorang gadis yang durhaka pada orang tuanya dan akhirnya dia dikutuk menjadi ikan pari dengan lokasi dari video di Kalimantan. Kesamaan dari hoaks ikan pari tersebut adalah rekaman video dari kutukan seorang ibu terhadap anaknya yang durhaka. Ikan pari tersebut tampak diletakkan di atas tempat tidur dengan dikelilingi suara orang membacakan ayat Al-Quran. Video berdurasi 30 detik ini telah berhasil membuat anak-anak 90-an ketakutan dan tidak berani melawan orang tuanya. Perbedaannya adalah lokasi kejadian yang mengikuti wilayah penyebarannya.
Versi lain dari hoaks ini adalah saat warganet menyandingkan foto ikan pari dengan postingan selebgram Awkarin. Tahun 2017 Awkarin membuat video musik dengan judul Bad Ass. Video musik ini diunggah ke situs berbagi video Youtube. Komentar yang diperoleh pun beragam dan ada kritik negatif salah satunya memberikan komentar “Pernah liat video azab ikan pari?” netizen menyamakan wajah Awkarin dalam video tersebut dengan viral azab ikan pari.
Faktanya video tersebut mengandung unsur hoaks, di mana ada tambahan narasi ikan tersebut adalah kutukan anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Ikan pari termasuk dalam jenis ikan shovelnose guitarfish memiliki nama ilmiah rhinobatidae.
Hoaks video mengenai ikan pari ini menjadi salah satu hoaks fenomenal. Isu ini menjadi fenomenal karena masyarakat memiliki ingatan kuat terhadap cerita anak durhaka yang dikutuk menjadi ikan pari. Walaupun hoaks ini telah diklarifikasi kebenarannya, namun hoaks ini masih sering dibagikan di media sosial.
Psikologi Hoaks
Fenomena menyebarnya informasi hoaks yang berulang tidak terlepas dari dinamika psikologis hoaks. Individu memiliki kecenderungan untuk percaya pada informasi yang sesuai dengan sikap atau persepsi yang telah dimilikinya. Begitu juga respons saat menerima informasi yang bertolak belakang dengan persepsi ataupun sikap yang dimilikinya, individu tersebut cenderung enggan untuk melakukan pengecekan kebenaran dari informasi tersebut.
Di era banjir informasi, pengguna media sosial dan masyarakat pada umumnya memiliki peluang mendapatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta. Kemampuan periksa fakta ini berbeda dengan kemampuan mengoperasikan alat teknologi. Kemampuan individu dalam memilih dan mengecek sumber dari informasi berkaitan langsung dengan literasi digital. Mengutip Cahya Suryani saat seminar peluncuran PESAT (Paguyuban Ekosistem Informasi Sehat) Jawa Timur “Setiap individu memiliki kecenderungan untuk mudah dimanipulasi,” dalam artian semua orang memiliki potensi untuk mudah percaya pada sebuah informasi walaupun informasi yang diterimanya belum tentu kebenarannya.
Selain dua hal itu, unsur anonimitas dari sebuah informasi mempengaruhi individu dalam menyebarkan kembali informasi yang telah diterima. Seringkali kita menemukan informasi hoaks yang memiliki kalimat pembuka “Izin sekadar share dari grup sebelah, sekadar berbagi info dari sumber terpercaya,” informasi yang seperti ini dapat menimbulkan perasaan lepas tanggung jawab. Jika informasi yang dibagikan tersebut salah, maka luntur tanggung jawab dari yang menyebarkan informasi berantai tersebut.
Kemunculan hoaks ikan pari yang melegenda di media sosial, baik sebagai meme atau lelucon dipengaruhi oleh alat produksi hoaks tersebut. Hoaks ini menggunakan alat berupa video dan narasi yang tampil di dalam video tersebut. Penggunaan unsur video yang termasuk dalam bentuk visual akan memberikan efek kuat dan tahan lebih lama di memori otak kita. Begitupun juga hoaks berbentuk visual lainnya.
Jadi, hoaks lama bersemi kembali bukan berfokus pada hoaksnya, namun pada cerita atau informasi yang beredar secara turun temurun di masyarakat. Cerita tersebut mengalami modifikasi secara aktual menyesuaikan peristiwa yang terjadi dibantu dengan teknologi digital. Teknologi digital yang berkembang saat ini memudahkan pembuatan hoaks, namun di sisi lain teknologi tersebut seharusnya membantu individu untuk melakukan pengecekan sumber informasi.***
- Published in Posts
Hoaks dari Masa ke Masa
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Masyarakat Indonesia akrab dengan kata hoaks atau informasi bohong sejak tenarnya kasus obor rakyat di masa pemilihan presiden tahun 2014. Buletin Obor Rakyat viral dengan menggunakan judul Capres Boneka dan menggunakan gambar karikatur Jokowi mencium tangan Megawati. Kasus Obor rakyat mencuat karena pengakuan dari La Nyalla Mattalitti yang mengaku turut serta menyebarkan tabloid tersebut di masa pilpres 2014. Isu Jokowi sebagai PKI, beragama Kristen, dan termasuk keturunan Tiongkok merupakan beberapa isu hoaks yang disebarkan oleh La Nyalla. Sebenarnya isu tersebut tidak hanya beredar melalui tabloid Obor Rakyat namun juga diedarkan melalui pesan berantai Blackberry Messenger. Berdasarkan pengakuan La Nyalla, tidak ada yang tahu asal-usul dari berita tersebut, dia hanya ikut serta menyebarkan berita tersebut.
Bila dirunut ke belakang, sebenarnya informasi hoaks sudah beredar jauh sebelum aktifnya media sosial seperti saat ini. Apa saja hoaks yang beredar dari masa ke masa pemerintahan dan menghebohkan publik saat itu? Berikut beberapa contoh hoaks yang sempat beredar.
Masa Pemerintahan Soekarno
Beredar kabar bahwa ada sepasang suami istri yang bernama Idrus dan Markonah mengaku sebagai Raja dan Ratu Kubu, Suku Anak Dalam Sumatera. Sepasang suami istri ini katanya melakukan perjalanan ke daerah-daerah dalam rangka pembebasan Irian Barat yang saat itu di tahun 1959 masih berada di tangan Belanda. Cerita ini juga terdengar sampai ke Istana. Akhirnya istana bertemu dengan sepasang suami istri itu dan memberikan jamuan. Aksi dan kedok mereka terbongkar saat bertemu tukang becak di sebuah pasar. Tukang becak ini mengenali aksi dari Idrus dan Markonah. Kasus ini dilaporkan sebagai penipuan pertama dan presiden pun menjadi korban.
Masa Presiden Soeharto
Beredar berita ibu yang bernama Cut Zahara Fona dari Aceh mengandung bayi yang bisa berbicara dan mengaji. Informasi ini menjadi buah bibir di masyarakat sampai menjadi berita di surat kabar. Adam Malik dan Tien Soeharto pun mendengar informasi ini dan memanggil Cut Zahara. Ketika pertemuan itu terjadi, Adam Malik dan Tien mendengarkan suara janin membaca Al Quran. Peristiwa ini pun menjadikan kabar tersebut menjadi semakin besar. Namun ternyata kabar ini dibantah oleh dokter bernama Herman yang mengatakan bahwa janin belum bisa bernapas dan mengeluarkan suara. Pernyataan ini mendapat ancaman. Namun seiring berjalannya waktu, kedok tersebut terbongkar dan ternyata Cut Zahara memasang tape recorder di perutnya.
Masa Presiden Megawati
Ramai informasi mengenai harta karun milik Prabu Siliwangi yang terpendam di Batu Tulis, Bogor. Bahkan Menteri Agama Said Agil Al Munawar menyampaikan informasi ini pada Megawati. Dan Megawati menunjuk Said Agil sebagai pemimpin untuk menggali harta karun tersebut agar bisa melunasi utang Indonesia. Setelah melakukan penggalian akhirnya proses tersebut dihentikan dan harta karun tidak ditemukan.
Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Tahun 2008 Indonesia dihebohkan mengenai kabar air menjadi bensin (blue energy). Penemunya bernama Joko Suprapto, menerima bantuan 10 miliar dan mendirikan pabrik blue energy di Cikeas atas hasil presentasi yang dilakukannya di depan presiden. Universitas Gadjah Mada melawan pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa informasi tersebut adalah bohong. Akhirnya Joko meminta maaf dan menjadi tersangka di Polda DI Yogyakarta karena tidak bisa mengubah air menjadi bensin.
Waspada Hoaks di Media Sosial
Perkembangan teknologi dan semakin gencarnya penggunaan media sosial membuat peredaran hoaks di masyarakat semakin subur. Jika diamati, hoaks yang beredar dari masa ke masa menunjukkan adanya pola yang berulang. Hoaks diproduksi, lalu dengan sengaja disebarkan oleh pembuatnya.
Jika diamati lagi, terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah penemuan internet. Sebelum adanya internet, hoaks umumnya diciptakan dan disebarkan secara sengaja oleh individu. Individu yang membuat hoaks ini cenderung dapat dilacak dan diketahui secara luas. Hoaks di zaman internet selain penyebarannya masif juga tidak diketahui siapa yang membuatnya. Salah satu penyebabnya adalah dalam ekosistem internet semua bercampur menjadi satu antara produsen pesan, penyalur, dan juga yang mengonsumsi pesan itu sendiri.
Jadi, selalu waspada dengan hoaks yang diterima melalui berbagai saluran.***
- Published in Posts
Flexing, Wajar tapi…
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Fenomena Flexing
Perilaku bermedia sosial saat ini tidak terlepas dari konten berbagi. Tidak hanya berbagi informasi, berbagi pendapat, tetapi juga berbagi gaya hidup. Beberapa waktu lalu linimasa heboh dengan pemberitaan mengenai Mario Dandy anak pegawai pajak. Kasus Mario Dandy yang ramai tidak hanya mengenai pemukulan terhadap mantan pacarnya (Ag) tapi juga kasus flexing yang akhirnya menyeret harta kekayaan orang tuanya. Tidak hanya Mario Dandy, crazy rich lainnya pun sering kali membuat konten pamer outfit yang harganya jutaan bahkan ratusan juta, pamer jumlah saldo, ataupun pamer aksesoris yang sedang digunakannya. “Outfit yang gue pakai murah aja lho” sembari menyebut barang mewah berharga jutaan bahkan ratusan juta. Aksi pamer ini adalah bentuk flexing.
Flexing adalah perilaku memamerkan kemewahan, kekayaan melalui media sosial dengan tujuan mendapatkan pengakuan atau menarik perhatian orang lain. Perilaku ini seringkali berhubungan dengan gaya hidup individu yang diperoleh secara instan dan mudah tanpa melihat aspek kerja keras. Aspek lain dari flexing adalah pengakuan yang erat kaitannya dengan eksistensi diri. Remaja bahkan orang dewasa pun akan merasa memiliki nilai superioritas dan harga diri yang tinggi saat berhasil pamer kekayaan.
Flexing bukan fenomena baru, namun karena teknologi internet, perilaku ini semakin mudah dan masif menyebar melalui konten-konten yang dibuat oleh pengguna media sosial. Sewaktu belum ada internet, orang harus memamerkan secara langsung pada individu lain dan hal tersebut membutuhkan waktu dan tenaga. Kini individu dapat dengan mudah memamerkannya. Membuat konten foto atau video lalu mengunggahnya di media sosial, dan semua orang dapat melihatnya.
Sebenarnya, perilaku memamerkan keberhasilan, pengalaman ataupun aktivitas adalah hal biasa. Namun akan menjadi sebuah alarm psikologis jika dilakukan secara berlebihan dan melihat perilaku pamer sebagai bentuk eksistensi diri. Kehidupan di dunia nyata dan dunia maya seringkali berbeda. Saat individu mulai menampilkan kehidupan “wow” di dunia maya, saat itu pula dia berisiko terkena gangguan psikis. Individu yang selalu ingin eksis di dunia maya seringkali menutupi kelemahan atau kekurangan yang dimiliki di dunia nyata, di mana dia akan menampilkan superiority karena rasa inferiority.
Jika ditelaah lebih jauh, perilaku flexing ini tidak hanya dilakukan oleh generasi tertentu namun juga dilakukan oleh generasi lainnya. Anekdot yang berkembang bahwa generasi Z gemar flexing. Namun kenyataannya saat membuka media sosial, flexing juga dilakukan oleh generasi sebelum Z. Selain faktor rasa ingin diakui (superiority), flexing juga bisa dilakukan karena rasa tidak nyaman dengan kehidupan di dunia nyata, sehingga individu tersebut bisa menciptakan dunianya sendiri di ruang maya. Faktor ini berhubungan dengan dorongan ingin tampil berbeda dengan orang lain, memiliki harga diri yang rendah dan kesepian. Harga diri yang rendah bisa diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan pada diri akan kemampuannya. Flexing berlebihan yang dilakukan individu bisa membuat individu tersebut sombong dan merasa superior sehingga ada dorongan untuk mendapatkan perlakuan yang berbeda dari yang lain, mengakibatkan rasa arogan dan ingin mendominasi individu lainnya.
Dua Sisi Konten Flexing
Beberapa waktu lalu fenomena flexing ini dimulai dari konten-konten selebriti yang diunggah melalui platform media sosial mereka. Masyarakat mulai terpapar perilaku flexing yang dilakukan selebriti. Akun-akun media konvensional maupun akun gosip memberitakan gaya hidup selebriti yang dulunya hanya individu biasa namun saat ini memiliki kekayaan berlimpah. Influencer baru mulai bermunculan dengan konten–konten di media sosial yang menonjolkan kekayaan secara instan. Kehadiran internet khususnya platform media sosial memberikan kesempatan pada semua individu untuk tampil dan menjadi “superior”.
Di satu sisi, masyarakat masih belum memiliki pemahaman bahwa konten yang dibuat oleh selebriti bukanlah kondisi real mereka. Masyarakat mengira yang dibuat konten oleh selebriti adalah sesuatu yang nyata. Padahal konten-konten tersebut tidak lepas dari bagian pekerjaan mereka di dunia entertainment yakni menghibur orang. Semua individu pasti memiliki rasa iri dan akan melakukan perbandingan seperti “Kok dia bisa, sedangkan aku tidak?” ketika perasaan itu muncul individu akan memiliki dorongan untuk melakukan hal yang mirip atau bahkan sama, dan kesamaan dari perilaku tersebut hanyalah berupa duplikasi dari konten orang lain.
Perilaku flexing yang awalnya memiliki tujuan untuk disanjung dapat berbalik menjadi hujatan. Sudah banyak influencer media sosial yang awalnya disanjung karena keberhasilan usahanya pada akhirnya berubah menjadi hujatan dan komentar kebencian dari netizen. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun kehidupan yang positif, menampilkan kesederhanaan dan apa adanya. Tidak ada yang salah dengan membagikan pengalaman dan keberhasilan, tapi tidak menjadikan hal tersebut hanya sebagai bentuk eksistensi diri. ***
- Published in Posts
KPID Jatim dan Mafindo Latih Lembaga Penyiaran Lawan Hoaks
Surabaya – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur berkolaborasi dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) melakukan Pelatihan Cek Fakta untuk Lembaga Penyiaran se-Jawa Timur, Kamis (16/03/2023) lalu. Pelatihan tersebut bertujuan untuk melatih lembaga penyiaran se-Jawa Timur menjadi penjernih beragam informasi yang beredar di masyarakat menjelang tahun pemilihan umum.
“Sampai saat ini televisi dan radio masih menjadi media yang memiliki tingkat kepercayaan masyarakat tinggi dibandingkan dengan media mainstream lainnya. Dengan demikian televisi dan radio memiliki peran penting dalam memberikan edukasi dan penyampaian informasi yang benar,” kata Ketua KPID Jawa Timur, Immanuel Yosua Tjiptosoewarno.
Pelatihan Cek Fakta untuk Lembaga Penyiaran se-Jawa Timur dimoderatori oleh Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jatim, Sundari. Pelatihan ini diikuti hampir 150 peserta yang terdiri dari lembaga penyiaran se-Jawa Timur maupun pemerhati penyiaran.
Sundari menyampaikan, pelatihan Cek Fakta untuk Lembaga Penyiaran se-Jawa Timur ini merupakan komitmen KPID Jawa Timur untuk mendorong kapasitas lembaga penyiaran di Jawa Timur. “Besar harapan KPID Jatim, peserta pelatihan cek fakta kali ini bisa menjadi agen verifikasi informasi yang beredar di tengah masyarakat,” kata Sundari.
Perwakilan dari Mafindo, Adi Syafitrah, selaku pemeriksa fakta, enam ciri-ciri informasi hoaks. Keenam itu adalah judul yang bombastis, alamat website yang tidak jelas, tidak mencantumkan nama penulis dan alamat redaksi, narasinya provokatuf, memanipulasi konten dan meminta dishare atau diviralkan.
Fitrah, juga berbagi tips menerima informasi untuk melawan hoaks. Ia menyampaikan ketika menerima informasi, baca, dengar, dan tonton sampai habis. Peserta juga disarankan untuk mencari tahu asal informasi tersebut, dari media yang kredibel atau tidak.
“Jika ragu jangan diteruskan. Jangan menyebarkan ke media sosial dengan alasan dengan alasan hanya ingin bertanya,” kata Fitrah.
Meski informasi itu benar namun tak ada manfaatnya, Fitrah juga melarang informasi itu disebar. Anjuran saring sebelum sharing (berbagi) diperlukan agar tidak ada korban hoaks, atau tanpa disadari menjadi pelaku penyebaran kebohongan.
Fitrah juga mengajarkan cara menggunakan fitur Google untuk memverifikasi informasi tulisan, foto, maupun video yang beredar. Penggunaan map dan lens di aplikasi tersebut bermanfaat untuk membuktikan fakta atau kebenaran informasi visual.
“Kolaborasi dan pelatihan semacam ini dapat meningkatkan kemampuan untuk melakukan cek fakta. Setelah ini, besar harapannya kita semua bisa mulai mau melakukan periksa fakta mulai dari informasi yang ada di sekitar kita,” kata pemeriksa fakta Mafindo tersebut.

- Published in Posts
WHO Membangun Kurikulum Manajemen Infodemik, Mafindo Ikut Terlibat

Keterangan foto: Peserta Konsultasi Teknis WHO di depan Fakultas Kedokteran Universitas Beograd, 21 Maret 2023. Mafindo ikut dalam acara itu, diwakili oleh Santi Indra Astuti (depan, kedua dari kanan). (Kredit: WHO/Damir Begovic).
Untuk mengembangkan kapasitas manajemen infodemik di masa depan, WHO mengadakan konsultasi teknis untuk membangun kurikulum global untuk manajemen infodemik pada 21-23 Maret di Beograd, Serbia. Diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Beograd, konsultasi tersebut mempertemukan 47 perwakilan akademisi, kesehatan masyarakat dan asosiasi profesional, dan otoritas kesehatan dari enam wilayah WHO.
- Published in Posts
Laporan Pemetaan Hoaks Tahun 2021
- Published in Posts
Laporan Pemetaan Hoaks Edisi Maret 2022
- Published in Posts