Tenggelamnya Nalar Kita
Penulis: C. Gunharjo Leksono
Reviewer: Heni Mulyati
Mengenal Nalar
Kita mendapat anugerah dari Tuhan yaitu nalar. Itulah yang membedakan kita dengan binatang. Binatang tidak bisa berpikir, tidak memiliki akal budi, tidak bisa membedakan baik dan buruk. Sementara manusia bisa menggunakan nalarnya untuk menjadikan hidup menjadi bermakna.
Tapi yang terjadi di masa kini, di dunia yang serba modern, banyak manusia kehilangan nalarnya, tidak bisa berpikir kritis, tidak bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk. Mari kita lihat tengok sejenak dunia digital yang bisa dinikmati di handphone kita. Ada orang kehilangan uang jutaan rupiah gara-gara undangan pernikahan file apk (berkas aplikasi berbasis android). Yang lain saldo rekening tinggal Rp 50 ribu dikuras orang tak dikenal karena klik cek foto paket.apk, cek tagihan pln.apk, premi asuransi.apk, dan cek BPJS.apk.
Mari kita cek makna kata nalar, sesuai dengan KBBI: nalar2/na·lar/ n 1 pertimbangan tentang baik buruk dan sebagainya; akal budi: setiap keputusan harus didasarkan — yang sehat; 2 aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir; bernalar/ber·na·lar/ v mempunyai nalar; menggunakan nalar; berpikir logis. Jelas dan gamblang bahwa nalar identik dengan berpikir logis, bisa menimbang baik buruk sesuatu.
Nalar dan Media Digital
Kalau nalar kita jalan, ngapain kita klik file undangan pernikahan kalau kenal saja tidak? Ngapain kita cek foto paket lha wong pesan paket saja tidak? begitu seterusnya. Tapi, karena manusia yang kadang gampang terlena, atau sekadar ingin tahu, atau coba-coba, akhirnya diklik dan sengsara kemudian. Ganasnya teknologi digital, salah klik, tak bisa ditarik kembali atau dibatalkan.
Semua ini salah satunya hanya gara-gara pengguna handphone yang awam dengan masalah tipu-tipu digital. Coba bayangkan, kita hanya salah klik, saldo tabungan yang diisi dengan peluh keringat, hilang hanya dalam sekejap, dan tidak bisa kembali. Itu ujian besar terhadap nalar kita. Manusia yang bernalar menjadi manusia yang gampang digiring emosinya oleh pelaku kejahatan. Seolah, pelaku cyber crime, sudah hafal karakter netizen 62 (julukan untuk pengguna internet Indonesia), yang mudah emosian, tidak menggunakan pikiran jernih, malas belajar, mudah tergiur hadiah, malas kroscek kebenaran, dan ingin menjadi yang pertama di media sosial sehingga share ini share itu ke berbagai grup tanpa saring sebelum sharing.
Ada juga kasus investasi bodong, investasi yang menggiurkan, menawarkan keuntungan dalam waktu sekejap. Coba siapa tidak tertarik, ketika kita ditawari investasi akan mendapat keuntungan balik modal di atas 10 persen hingga 50 persen? Nalar manusia langsung hilang: cepat kaya dengan cara instan, menggandakan uang dengan cara cepat. Emosi serasa diaduk aduk ingin cepat kaya, lalu menyerahkan segala harta tabungan ke pelaku investasi, yang ternyata hanyalah investasi bodong. Dan yang terjerumus bukan hanya orang biasa, banyak tokoh publik, orang bergelar sarjana hingga gelar berderet lainnya, juga kena. Uang jutaan, miliaran, dan triliun, hilang dalam hitungan kedipan mata?
Lebih mengenaskan lagi, uang yang terlanjur diinvestasikan, dan ternyata investasi bodong, uang tidak bisa kembali, walau pelaku sudah berhasil ditangkap, diadili, dan dipenjara. Sebab, uang investasi bodong dianggap sebagai judi, ya berarti dianggap sebagai kalah judi. Nah, sudah ludes uang investasi, dan tak bisa Kembali. Mimpi indah menjadi mimpi terburuk dalam kehidupan umat manusia.
Nalar manusia juga bisa tiba-tiba tenggelam di dasar lautan ketika kita memasuki tahun politik. Hoaks mulai bermunculan, mulai dari pelemahan KPU, ketidakpercayaan kepada pemerintah, melawan semua kebijakan pemerintah, menghantam figur dan tokoh politik yang dianggap berseberangan, dan hoaks keji kepada figur atau tokoh publik demi persaingan di pilpres. Bukan hanya teman, tetangga, keluarga pun jadi renggang dan bermusuhan gegara hoaks.
Itulah fakta terkini. Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat, tidak diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis. Jangankan berpikir kritis, pelaku kejahatan mengaduk aduk emosi, dan banyak yang terjerumus. Berpikir kritis bukan sekadar jargon belaka. Bisa dipelajari, dicoba, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau hal itu dilakukan sejak dini, niscaya kita akan terbebas dari tipu-tipu digital, tipu tipu ala apk, tipu-tipu lainnya di dunia digital, dan bebas dari hoaks. Siapkah kita? Yuk, mulai berpikir kritis di segala bidang kehidupan! Agar kita tidak menyesal di kemudian hari. ***
- Published in Posts
Hoaks Seputar Sepak Bola
Penulis: Budi Indaryadi
Reviewer: Heni Mulyati
Sepak bola. Siapa yang tidak kenal dengan permainan ini? Mengadu kemahiran dalam mencetak gol antartim yang terdiri dari 11 pemain di lapangan hijau telah menyihir dunia, bahkan Piala Dunia Sepak Bola diklaim sebagai acara yang paling menyedot perhatian melebihi Olimpiade sekalipun.
Dalam perhelatan mutakhir World Cup Qatar 2022 yang baru berakhir, menampilkan Argentina sebagai Juara Dunia Sepak Bola setelah mengalahkan Perancis dengan adu penalti. Namun, Argentina bukanlah tim yang tak terkalahkan saat itu. Kejutan terjadi di awal fase grup ketika Arab Saudi mampu mengalahkan Argentina 2-1 menjadi berita besar, bahkan Raja Salman menetapkan satu hari libur nasional untuk menghormati dan merayakan kemenangan tersebut. Satu hal menarik yaitu beredarnya berita bahwa para pemain mendapatkan bonus berupa mobil Rolls Royce Phantom, yang ternyata kemudian terkonfirmasi tidak benar, alias hoaks.
Kemudian, apakah itu satu-satunya hoaks yang pernah terjadi dalam dunia sepak bola? Jawabannya adalah, bukan. Banyak hoaks yang terjadi seputar sepak bola yang sempat menghebohkan publik, terutama melibatkan nama-nama besar dalam dunia sepak bola. Berikut beberapa contoh hoaks di antaranya:
⦁ Maradona
“The hand of God” atau Si Tangan Tuhan, adalah julukan bagi Diego Armando Maradona, atau biasa dikenal sebagai Maradona. Sebutan itu berawal dari aksi legendarisnya saat pertandingan antara Argentina melawan Inggris dalam Perempat Final Piala Dunia 1986 di stadion Azteca, Mexico City, Meksiko.
Dalam pertandingan tersebut Maradona berhasil menyundul bola mendahului kiper Inggris Peter Shilton dalam perebutan bola di udara dan bola meluncur ke gawang Inggris. Pemain Inggris memprotes gol ini karena terlihat Maradona menggunakan tangannya untuk menyentuh bola. Namun wasit tetap menyatakan gol sah. Saat itu belum dikenal adanya teknologi Video Assistant Referee (VAR) sehingga semua keputusan di lapangan adalah kuasa sepenuhnya oleh wasit utama.
Dalam wawancara usai pertandingan, Maradona menyebut “a little with the head of Maradona, and a little with the hand of God”. Seolah menyatakan gol ini bantuan dari “tangan Tuhan”. Pada tahun 2005, atau setelah 19 tahun kejadian itu, Maradona membuat pengakuan dalam acara TV Argentina, La Noche del 10, bahwa dia menggunakan tangannya untuk mencetak gol saat itu.
⦁ Christiano Ronaldo
Pada tahun 2019, beredar foto Christiano Ronaldo memegang pigura dengan kaligrafi kalimat tauhid, dengan narasi “Demi Palestina, Cristiano Ronaldo Sumbang Rp 21,7 Miliar”.
Manajemen pemain yang akrab disebut CR7 ini membuat bantahan yang diterbitkan AFP “Itu keliru, sama seperti cerita lain yang dipublikasikan tentang Cristiano Ronaldo”.
Pada kenyataannya Ronaldo memang cukup sering dijadikan bahan narasi hoaks yang beredar di media sosial. Sementara foto tersebut merupakan editan, di mana sebenarnya adalah foto Ronaldo menjadi Kapten Timnas Portugal, dalam pertandingan persahabatan melawan Brasil pada 2006.

⦁ Pele
Edson Arantes do Nascimento atau akrab disapa Pele, adalah legenda sepak bola asal Brasil, pemenang tiga Piala Dunia Bersama tim Brasil, dan berbagai prestasi maupun penghargaan dunia. Pele meninggal pada 30 Desember 2022, Presiden FIFA bahkan sampai meminta pada setiap negara yang bernaung di bawah FIFA untuk memberi satu stadion di masing-masing negara untuk diberi nama Stadion Pele.
Namun ada pula berita yang viral adanya permintaan dari FIFA untuk memajang kaki Pele di museum. Dalam unggahan tersebut juga disebutkan bahwa FIFA sudah meminta izin kepada pihak keluarga Pele dan diizinkan.
FIFA sendiri membantah adanya pernyataan ini. Juru Bicara FIFA mengirim surel bantahan itu kepada Reuters. Pun Reuters tidak menemukan artikel maupun laporan dari TNT Sport yang dicatut dalam foto tersebut.

Unik dan menggelitik, bukan? Dan bila kita berpikir bahwa hanya terjadi pada nama-nama terkenal, itu salah. Beberapa kejadian pernah terjadi pada pemain yang bahkan tidak dikenal sama sekali. Seperti apa? Nantikan tulisan penulis pada bagian berikutnya!
Referensi:
https://www.kompas.com/sports/read/2022/11/23/06200098/arab-saudi-menang-atas-argentina-raja-salman-umumkan-libur-nasional?page=all
https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/5140372/cek-fakta-klarifikasi-pemain-timnas-arab-saudi-dapat-rolls-royce-usai-kalahkan-argentina-di-piala-dunia-2022
Diego Maradona Hand of God goal: The story of a legendary World Cup moment | Sporting News United Kingdom
https://turnbackhoax.id/2019/11/26/salah-demi-palestina-cristiano-ronaldo-sumbang-rp-217-miliar/
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/01/05/150300282/cek-fakta–tidak-benar-fifa-akan-menyimpan-kaki-pele-di-museum
- Published in Posts
Tuli dan Literasi Media
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Vinanda
Reviewer: Heni Mulyati
Perkembangan Era Digital
Saat ini kita berada dalam era digital ketika hampir semua kegiatan dilakukan menggunakan media digital. Perubahan aktivitas masyarakat ini mengalami peralihan dari media konvensional ke media baru. Data terbaru dari Hootsuite Januari 2023 pengguna internet di Indonesia sebanyak 212,9 juta dan mengalami peningkatan sebesar 10 juta dari data tahun 2022. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengakses internet dan secara tidak langsung aktivitas dalam menggunakan internet ini dapat memengaruhi pola kehidupan masyarakat itu sendiri. Sehingga dibutuhkan keterampilan literasi media untuk semua individu tanpa kecuali.
Perkembangan teknologi dan media yang semakin pesat secara tidak langsung turut memberikan tantangan bagi masyarakat, termasuk Tuli. Tuli termasuk kelompok masyarakat yang sudah memanfaatkan perkembangan teknologi digital. Misalnya penggunaan aplikasi yang mengubah suara menjadi tulisan atau influencer Tuli yang membuat konten.
Masifnya penggunaan media digital bagi Tuli juga memberikan kerentanan, yakni terpaparnya hoaks atau menjadi korban penipuan digital. Dengan demikian Tuli perlu dibekali dengan kemampuan mengakses, mencari, memproduksi informasi, dan menafsirkan konten media.
Literasi Media bagi Tuli
Literasi media di sini tidak hanya berupa baca tulis, namun juga kemampuan membuat konten dan menggunakan memilah informasi yang termasuk hoaks atau fakta. Sejak tahun 2021 Mafindo sudah memulai pengembangan kurikulum panduan literasi media. Kurikulum ini berisikan panduan untuk narasumber dan fasilitator terkait literasi media. Pada awalnya kurikulum ini dibuat untuk kalangan jurnalis dan masyarakat umum, namun seiring perjalanan waktu kurikulum literasi media bagi Tuli juga mulai dikembangkan.
Salah satu alasan pengembangan kurikulum adalah saat pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia semua sektor mengalami perubahan dan semua masyarakat dituntut untuk melakukan adaptasi secara cepat. Perubahan ini memberikan efek pada semua aspek kehidupan. Sebelum pandemi Covid-19, masih sangat jarang kegiatan atau workshop yang menghadirkan Juru Bahasa Isyarat (JBI). Namun karena terjadi adaptasi maka semakin banyak webinar yang menggunakan JBI.
Mengutip Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) Laura Lesmana Wijaya mengatakan bahwa Tuli belum mendapatkan akses informasi yang cukup. Namun sejak pandemi Covid-19, pemerintah mulai menyadari perlunya pemenuhan informasi untuk Tuli. Dan menurut Laura kendala yang dihadapi oleh orang dengar dan Tuli itu sama, yang membedakan hanya pada masalah pemberian akses komunikasi itu sendiri. Dalam artian bahwa Tuli membutuhkan akses informasi sama seperti orang dengar dan pemanfaatan teknologi media yang sama.
Tuli mengalami kesulitan dalam mengakses teknologi karena minimnya teks dalam proses penggunaan teknologi. Misalnya saat pandemi Covid-19, komunikasi yang biasanya terjadi secara tatap muka berubah melalui perantara teknologi seperti Zoom ataupun Google Meet. Kedua teknologi tersebut dirasa belum ramah bagi Tuli sehingga dibutuhkan JBI untuk membantu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi.
Buku panduan literasi media bagi Tuli yang dikembangkan oleh Mafindo menjadi salah satu bentuk bahwa literasi media bersifat inklusif. Semua individu berhak memiliki kemampuan literasi media yang baik. Buku panduan ini disusun melalui berbagai tahapan hingga menjadi satu buku panduan yang utuh. Proses penyusunannya melalui beberapa kali FGD (focus group discussion) dengan melibatkan berbagai pihak seperti SIGAB, relawan Mafindo, Pusbisindo, aktivis Tuli, PerDIK, Gerkatin, akademisi, dan relawan Tuli.
Tantangan dalam penyusunan buku tersebut adalah penyederhanaan kalimat dan penggunaan istilah. Karena tidak semua materi yang telah disusun bisa dengan mudah dipahami Tuli. Selain itu, buku panduan ini mengalami penyesuaian dari segi durasi dan tema yang dipadatkan. Tema yang pertama membahas mengenai literasi media dan kerja jurnalistik, tema kedua mengenai periksa fakta, tema ketiga etis bermedia dan evaluasi konten, dan tema keempat mengenai pembuatan konten positif.
Tim kurikulum Mafindo tidak hanya menyusun buku panduan tapi juga membuat video yang berisikan penjelasan materi. Video pengantar telah dilengkapi dengan JBI untuk memudahkan peserta Tuli mengikuti materi pelatihan.
Buku Panduan Literasi Media bagi Tuli ini merupakan sebuah langkah kecil dan langkah awal bagi Mafindo untuk turut mewujudkan ekosistem informasi sehat bagi semua, termasuk bagi Tuli. Mengutip Koordinator Kurikulum Program Media dan Presidium Komite Edukasi Mafindo Heni Mulyati menyatakan buku ini merupakan langkah awal mewujudkan literasi media yang inklusif dan harapannya akan ada kurikulum-kurikulum untuk teman-teman difabel lainnya.***
- Published in Posts
Ruang Digital dan Lansia
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Vinanda
Reviewer: Heni Mulyati
Gambaran Lansia dan Dunia Digital
Pandemi Covid-19 yang terjadi telah membawa sebuah peradaban baru bagi manusia. Perubahan terjadi, ketika adaptasi lingkungan serta adaptasi individu dibutuhkan dalam menyikapi krisis yang terjadi. Tidak hanya sehat secara jasmani namun juga sehat secara psikis. Pemerintahan setiap negara memberlakukan pembatasan sosial dan meminta masyarakat melakukan segala aktivitas dari rumah mulai bekerja, belajar, dan beribadah pun dilakukan dalam rumah.
Dampak dari perubahan ini secara tidak langsung membentuk interaksi digital. Sebenarnya interaksi digital bukan sebuah kegiatan baru, sebelumnya pun masyarakat sudah banyak yang menggunakan digital sebagai alat berinteraksi. Namun saat pandemi Covid-19 interaksi digital menjadi sebuah kegiatan utama. Segala aktivitas berubah menjadi digitalisasi. Dampak perubahan ini dirasakan oleh semua kalangan tidak terkecuali lansia.
Lansia menurut WHO dibagi menjadi empat tahapan yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) > 90 tahun. Lansia merupakan salah satu kelompok rentan yang dikhawatirkan mudah tertular Covid-19 sehingga lansia menjadi salah satu kelompok yang dibatasi gerak dan aktivitas di luar ruangan. Pembatasan aktivitas inilah yang membuat lansia mau tidak mau memanfaatkan media digital sebagai alat bantu berkomunikasi dan berinteraksi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk lansia di Indonesia yang menggunakan internet mengalami peningkatan drastis di masa pandemi ini. Tahun 2019 lansia yang menggunakan internet sebanyak 7,94%, di tahun 2020 mengalami peningkatan drastis mencapai 11,44%. Data ini menggambarkan bahwa penggunaan internet oleh lansia digunakan sebagai salah satu sarana dalam berhubungan secara sosial demi kesejahteraan diri mereka.
BPS tahun 2021 dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) “ada ketimpangan digital yang terjadi antarkelompok umur di Indonesia, di mana hanya sekitar 10% penduduk Indonesia usia 65 tahun ke atas yang mengakses internet.”
Lansia yang menggunakan internet dapat meningkatkan fungsi komunikasi interpersonal, fungsi kognitif, serta kemandiriannya dalam mengakses informasi dan beraktivitas digital. Tidak hanya aktivitas komunikasi namun juga akses pelayanan pemerintah, kegiatan jual beli, dan konsultasi medis.
Perubahan ini memberikan kemudahan namun juga menghidupkan alarm kewaspadaan untuk lansia. Sehingga lansia juga membutuhkan peningkatan literasi digital. Literasi digital bukan hanya kemampuan individu dalam menggunakan teknologi, namun juga berkaitan dengan sikap dan perilaku bijak di ruang digital.
Pembekalan bagi Lansia
McDonough (2016) mengatakan bahwa lansia atau kelompok usia lebih tua memiliki ketimpangan digital seperti rendahnya literasi digital, tecnofobia, dan keengganan menggunakan serta hambatan fisik. Oleh karena itu lansia menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kemajuan teknologi dan banjir informasi. Salah satu kebiasaan lansia yang berhubungan dengan informasi adalah mudah memercayai informasi yang diterima dan mudah membagikan informasi yang belum tentu kebenarannya.
Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia) dengan dukungan Google.Org melaksanakan program Tular Nalar yang salah satu fokus programnya meningkatkan literasi digital lansia dalam penggunaan teknologi digital. Mafindo Mojokerto melaksanakan program Akademi Digital Lansia ke beberapa tempat salah satunya di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Pesertanya tidak hanya jemaat GKJW, namun juga masyarakat sekitar gereja. Peserta yang hadir diberikan pelatihan cara penggunaan teknologi digital dengan, aman, efektif, dan bijak. Serta pelatihan cara memilih informasi dengan sumber yang benar.
Salah satu peserta pelatihan Bapak Hari perwakilan dari GPDI mengapresiasi dilaksanakannya pelatihan ini. “Pelatihan ini membantu lansia memahami perkembangan media sosial, membantu kami memilah informasi, memilah berita yang disampaikan apa benar dan tidaknya. Kami mendukung gerakan dari Mafindo agar bisa membantu banyak orang, agar orang tidak mudah terkena hoaks, dan kami pemimpin gereja akan menyampaikan materi pelatihan ini pada jemaat kami,” terangnya.
Puradian Wiryadigda M.A sebagai Koordinator Fasilitator Akademi Digital Lansia Mojokerto menyampaikan dasar pelaksanaan kegiatan karena lansia masih dianggap sebagai salah satu kelompok rentan yang mudah terkena dampak negatif dari hoaks dan penipuan digital. Ia juga menyampaikan bahwa Mafindo akan melakukan pendampingan setelah pelatihan dengan target tidak hanya lansia, tapi juga orang terdekat lansia. Harapannya pendamping lansia dapat memberikan pendampingan saat lansia menggunakan internet.***
- Published in Posts
Pengetahuan Kok Palsu?
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Vinanda
Reviewer: Heni Mulyati
Pernahkah kita mengecek beranda media sosial kita? Berapa banyak teman di media sosial kita yang membagikan informasi? Media sosial ramai dengan berbagai unggahan makanan, promosi jualan, bahkan informasi. Informasi yang dibagikan pun beragam, informasi terkait perkembangan Covid-19 hingga informasi remeh temeh yang belum jelas kebenarannya. Siapa yang bisa menolak dengan pernyataan “masyarakat Indonesia terkenal dengan perilaku berbaginya”?
Konteks berbagi merupakan sebuah perilaku lumrah di kalangan kita. Kehidupan bertetangga rasanya kurang afdol kalau tidak ada kumpul-kumpul berbagi cerita dan kudapan. Kebiasaan berbagi “kudapan” ini juga terbawa di kehidupan bermedia sosial kita. Hampir setiap hari beranda media sosial ramai dengan unggahan berbagi “kudapan” versi online, gurihnya informasi yang berbalut informasi mimpi, manisnya informasi hoaks, dan berbagai unggahan lainnya.
Budaya Berbagi dan Kroscek
Tidak ada yang salah dengan budaya berbagi. Namun, coba kita tengok budaya berbagi di media sosial, berapa banyak unggahan yang dibagikan sukses membuat keramaian? Berapa banyak ujaran kebencian yang dibalut dengan pengetahuan palsu yang menyajikan kudapan manis ataupun gurih. Kita yang akrab dengan media sosial berteman erat dengan budaya berbagi.
Konten apapun yang muncul di beranda, sedikit banyak memberikan pengaruh pada pola pikir dan bersikap kita. Kesadaran akan hal itu menuntut kita untuk mampu kroscek informasi. Kesadaran untuk proses kroscek ini dimulai dengan pertanyaan awal “ siapa sumber informasi itu?” Pertanyaan siapa ini membuka akan pertanyaan-pernyataan kroscek lainnya.
Tidak lupa unggahan yang ramai di media sosial, belum jelas kebenarannya bisa saja informasi yang kita akses merupakan pengetahuan palsu. Kita harus pandai untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, tentu saja tujuan dari pengecekan ini untuk membedakan fakta atau opini sebuah informasi. Kroscek informasi erat kaitannya dengan sikap skeptis. Bukan suatu hal yang memalukan namun perilaku yang dibutuhkan saat ini.
Pandemi dan Pengetahuan Palsu
Hampir dua tahun lebih kita mengalami pandemi Covid-19 dan disajikan dengan berbagai informasi. Informasi perkembangan virus Covid-19 hingga pengobatan Covid-19. Dibutuhkan keahlian untuk memilah informasi. Karena, tanpa kita sadari sejak pandemi Covid-19 bermunculan pakar-pakar yang eksis di media sosial dengan berbagai macam konten informasinya. Bahkan WHO mengumumkan pandemi Covid-19 juga dibarengi dengan fenomena infodemi. Infodemi diartikan sebagai meluapnya jumlah informasi Sebagian informasi akurat dan sebagian tidak yang menyebar bersamaan dengan wabah penyakit.
Menyebarnya pengetahuan palsu memberikan konsekuensi tersendiri, dalam konteks pandemi penyebaran pengetahuan palsu bisa menghambat upaya penanganan Covid-19 dan berakibat fatal bagi kita. “Covid-19 hanya flu biasa”, “minum minyak kayu putih bisa menyembuhkan Covid”, “Vaksin mengandung microchip” ini hanya tiga dari ribuan hoaks yang tersebar di masa pandemi.
Bisa dibayangkan berapa banyak masyarakat kita yang mempercayai pengetahuan palsu ini. Ditelisik dari laporan pemetaan Mafindo tahun 2020, hoaks yang berhasil diklarifikasi sebanyak 2.298 hoaks, dan hampir 1.000 lebih hoaks mengenai Covid-19. Begitu juga tahun 2021 dan 2022 hoaks yang berhubungan dengan Covid-19 dan juga penanganannya cukup banyak beredar di media sosial.
Penulis berdiskusi mengenai hoaks Covid-19 dengan beberapa mahasiswa. Hampir semua mahasiswa menjawab memercayai “meminum minyak kayu putih memberikan kesembuhan saat terkena Covid-19.” Bahkan dari hasil diskusi terkuat salah satu mahasiswa pernah minum dua botol minyak kayu putih agar hasil Swab PCR-nya negatif. Namun, meskipun sudah menghabiskan dua botol tersebut, hasil pemeriksaan masih menunjukkan positif Covid-19.
Sumber Informasi dan Pengaruhnya
Pengetahuan yang beredar di media sosial seringkali bersumber dari tiga akun utama. Akun media pers daring atau official, akun “influencer”, dan akun pengguna biasa. Hampir semua media konvensional memiliki akun di media sosial. Tapi seringkali kita mudah terkecoh dengan media pers daring ini. Banyak media abal-abal yang meniru media official untuk menarik pengguna media sosial. Fenomena ini tidak lepas dari pengetahuan palsu.
Maraknya akun-akun influencer yang berkembang di media sosial menjadi salah satu penyumbang beredarnya pengetahuan palsu. Unggahan dari influencer akan menjadi contoh dan bahan pertimbangan dalam perilaku masyarakat. Namun bukan berarti semua influencer memberikan pengaruh buruk, tetap ada kok yang membagikan pengetahuan fakta.
Pandai-pandai kita dalam memilih sumber informasi. Terlepas dari akun official dan akun influencer, di media sosial juga seringkali kita menemukan informasi yang dibagikan oleh pengguna media sosial “biasa”. Biasa yang diartikan sebagai akun pengguna pribadi yang memiliki jumlah pertemanan tidak sebanyak akun influencer. Pengguna tipe ini juga patut untuk di kroscek postingannya, jumlah likes, dan komentar dari temannya tercetak menjadi algoritma.
Hati-hati dengan Pengetahuan Palsu
Sumber-sumber postingan yang berseliweran di lini massa memberikan pengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan,mengapa? Karena memberikan sumbangan pada maraknya peredaran pengetahuan palsu, informasi yang diselimuti berita bohong. Peredaran opini secara tidak langsung menggiring masyarakat.
Informasi dapat beredar dengan cepat, karena kita mudah terpana dengan sesuatu yang “wow”. Kita menyukai informasi yang viral. Pengetahuan palsu menghantui ekosistem media sosial kita, dibutuhkan kemauan untuk mengecek informasi sebelum dibagikan. Kalau mau repot, cek sebelum membagikan. Jika tidak, stop informasi tersebut di beranda media sosial kita. Klik dan share dari kamu memberikan pengaruh pada pengguna lainnya.***
- Published in Posts
Menjaga Nalar Jelang Pemilu 2024
Penulis: Vinanda Febriani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Situasi Menjelang Pemilu 2024
Pemilu semakin dekat, bagaimana menjaga nalar publik jelang Pemilu 2024? Pemilu menjadi ajang kontestasi politik yang sangat sengit. Tak jarang berbagai perpecahan dan disinformasi menyerang baik kepada pihak penyelenggara maupun peserta Pemilu dari kalangan partai politik maupun individu.
Kita telah memiliki pengalaman yang sangat memprihatinkan pada Pemilu 2019 lalu, di mana polarisasi dan hasutan kebencian terus-menerus digaungkan oleh berbagai pihak demi memenangkan hasil perolehan suara pada saat pemungutan suara. Naasnya tak hanya berhenti di situ saja, hasutan kebencian terus menyebar hingga jauh setelah hasil pemilu ditetapkan, memengaruhi pola pikir sebagian masyarakat baik partisan maupun non-partisan politik.
Bagaimana Peran Anak Muda?
Sebagai anak muda, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa polarisasi sangat mengganggu stabilitas sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Hal ini membuat nalar kemanusiaan kita seringkali tidak lagi berfungsi secara optimal. Anak muda dihadapkan pada tiga pilihan, antara apatis, berpihak pada salah satu kubu, atau netral dan hanya berpihak kepada fakta.
Pemilu 2024 mendatang disebut-sebut akan memiliki pola yang hampir sama dengan pemilu sebelumnya, bahkan ada yang memprediksi akan lebih berbahaya. Sebetulnya berbahaya atau tidaknya peredaran informasi pada pemilu mendatang, akan sangat bergantung pada seberapa besar kualitas “mawas diri” masyarakat terhadap banjir informasi yang akan terus terjadi.
Meskipun kegiatan pelatihan literasi digital telah digalakkan di berbagai penjuru negeri ini berkolaborasi dengan berbagai pihak, akan tetapi jangkauan literasi digital tersebut masih dirasa belum cukup untuk mengedukasi masyarakat hingga ke lapisan bawah. Hal ini membuat kita sebagai kawula muda diharap bisa ikut berkontribusi dalam memberikan edukasi seputar literasi digital kepada masyarakat, khususnya terkait isu disinformasi jelang pemilu.
Anak-anak muda juga diharapkan dapat menjadi penggerak masyarakat bawah agar sadar terhadap pentingnya budaya cek fakta. Dengan demikian, Indonesia terhindar dari banjir informasi palsu yang membahayakan stabilitas sosial dan kebangsaan.***
- Published in Posts
Ikan Pari: Hoaks Lama Bersemi Kembali
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Fenomena Hoaks Ikan Pari
Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan dengan informasi bahwa ada seorang anak yang berubah menjadi ikan pari karena menendang orang tuanya saat sedang salat. Video yang beredar di Youtube dengan judul Durhaka Ikan Pari telah sukses menarik penonton sebanyak 209.000 orang. Berbagai versi video ikan pari ini beredar. Terdapat video yang beredar di Youtube sejak tahun 2012, bahwa ada anak yang durhaka terhadap orang tuanya berubah menjadi ikan pari, versi ini terjadi di kota Palembang Sumatera Selatan.
Versi lain beredar tahun 2007 melalui platform Youtube juga dengan narasi seorang gadis yang durhaka pada orang tuanya dan akhirnya dia dikutuk menjadi ikan pari dengan lokasi dari video di Kalimantan. Kesamaan dari hoaks ikan pari tersebut adalah rekaman video dari kutukan seorang ibu terhadap anaknya yang durhaka. Ikan pari tersebut tampak diletakkan di atas tempat tidur dengan dikelilingi suara orang membacakan ayat Al-Quran. Video berdurasi 30 detik ini telah berhasil membuat anak-anak 90-an ketakutan dan tidak berani melawan orang tuanya. Perbedaannya adalah lokasi kejadian yang mengikuti wilayah penyebarannya.
Versi lain dari hoaks ini adalah saat warganet menyandingkan foto ikan pari dengan postingan selebgram Awkarin. Tahun 2017 Awkarin membuat video musik dengan judul Bad Ass. Video musik ini diunggah ke situs berbagi video Youtube. Komentar yang diperoleh pun beragam dan ada kritik negatif salah satunya memberikan komentar “Pernah liat video azab ikan pari?” netizen menyamakan wajah Awkarin dalam video tersebut dengan viral azab ikan pari.
Faktanya video tersebut mengandung unsur hoaks, di mana ada tambahan narasi ikan tersebut adalah kutukan anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Ikan pari termasuk dalam jenis ikan shovelnose guitarfish memiliki nama ilmiah rhinobatidae.
Hoaks video mengenai ikan pari ini menjadi salah satu hoaks fenomenal. Isu ini menjadi fenomenal karena masyarakat memiliki ingatan kuat terhadap cerita anak durhaka yang dikutuk menjadi ikan pari. Walaupun hoaks ini telah diklarifikasi kebenarannya, namun hoaks ini masih sering dibagikan di media sosial.
Psikologi Hoaks
Fenomena menyebarnya informasi hoaks yang berulang tidak terlepas dari dinamika psikologis hoaks. Individu memiliki kecenderungan untuk percaya pada informasi yang sesuai dengan sikap atau persepsi yang telah dimilikinya. Begitu juga respons saat menerima informasi yang bertolak belakang dengan persepsi ataupun sikap yang dimilikinya, individu tersebut cenderung enggan untuk melakukan pengecekan kebenaran dari informasi tersebut.
Di era banjir informasi, pengguna media sosial dan masyarakat pada umumnya memiliki peluang mendapatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta. Kemampuan periksa fakta ini berbeda dengan kemampuan mengoperasikan alat teknologi. Kemampuan individu dalam memilih dan mengecek sumber dari informasi berkaitan langsung dengan literasi digital. Mengutip Cahya Suryani saat seminar peluncuran PESAT (Paguyuban Ekosistem Informasi Sehat) Jawa Timur “Setiap individu memiliki kecenderungan untuk mudah dimanipulasi,” dalam artian semua orang memiliki potensi untuk mudah percaya pada sebuah informasi walaupun informasi yang diterimanya belum tentu kebenarannya.
Selain dua hal itu, unsur anonimitas dari sebuah informasi mempengaruhi individu dalam menyebarkan kembali informasi yang telah diterima. Seringkali kita menemukan informasi hoaks yang memiliki kalimat pembuka “Izin sekadar share dari grup sebelah, sekadar berbagi info dari sumber terpercaya,” informasi yang seperti ini dapat menimbulkan perasaan lepas tanggung jawab. Jika informasi yang dibagikan tersebut salah, maka luntur tanggung jawab dari yang menyebarkan informasi berantai tersebut.
Kemunculan hoaks ikan pari yang melegenda di media sosial, baik sebagai meme atau lelucon dipengaruhi oleh alat produksi hoaks tersebut. Hoaks ini menggunakan alat berupa video dan narasi yang tampil di dalam video tersebut. Penggunaan unsur video yang termasuk dalam bentuk visual akan memberikan efek kuat dan tahan lebih lama di memori otak kita. Begitupun juga hoaks berbentuk visual lainnya.
Jadi, hoaks lama bersemi kembali bukan berfokus pada hoaksnya, namun pada cerita atau informasi yang beredar secara turun temurun di masyarakat. Cerita tersebut mengalami modifikasi secara aktual menyesuaikan peristiwa yang terjadi dibantu dengan teknologi digital. Teknologi digital yang berkembang saat ini memudahkan pembuatan hoaks, namun di sisi lain teknologi tersebut seharusnya membantu individu untuk melakukan pengecekan sumber informasi.***
- Published in Posts
Hoaks dari Masa ke Masa
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Masyarakat Indonesia akrab dengan kata hoaks atau informasi bohong sejak tenarnya kasus obor rakyat di masa pemilihan presiden tahun 2014. Buletin Obor Rakyat viral dengan menggunakan judul Capres Boneka dan menggunakan gambar karikatur Jokowi mencium tangan Megawati. Kasus Obor rakyat mencuat karena pengakuan dari La Nyalla Mattalitti yang mengaku turut serta menyebarkan tabloid tersebut di masa pilpres 2014. Isu Jokowi sebagai PKI, beragama Kristen, dan termasuk keturunan Tiongkok merupakan beberapa isu hoaks yang disebarkan oleh La Nyalla. Sebenarnya isu tersebut tidak hanya beredar melalui tabloid Obor Rakyat namun juga diedarkan melalui pesan berantai Blackberry Messenger. Berdasarkan pengakuan La Nyalla, tidak ada yang tahu asal-usul dari berita tersebut, dia hanya ikut serta menyebarkan berita tersebut.
Bila dirunut ke belakang, sebenarnya informasi hoaks sudah beredar jauh sebelum aktifnya media sosial seperti saat ini. Apa saja hoaks yang beredar dari masa ke masa pemerintahan dan menghebohkan publik saat itu? Berikut beberapa contoh hoaks yang sempat beredar.
Masa Pemerintahan Soekarno
Beredar kabar bahwa ada sepasang suami istri yang bernama Idrus dan Markonah mengaku sebagai Raja dan Ratu Kubu, Suku Anak Dalam Sumatera. Sepasang suami istri ini katanya melakukan perjalanan ke daerah-daerah dalam rangka pembebasan Irian Barat yang saat itu di tahun 1959 masih berada di tangan Belanda. Cerita ini juga terdengar sampai ke Istana. Akhirnya istana bertemu dengan sepasang suami istri itu dan memberikan jamuan. Aksi dan kedok mereka terbongkar saat bertemu tukang becak di sebuah pasar. Tukang becak ini mengenali aksi dari Idrus dan Markonah. Kasus ini dilaporkan sebagai penipuan pertama dan presiden pun menjadi korban.
Masa Presiden Soeharto
Beredar berita ibu yang bernama Cut Zahara Fona dari Aceh mengandung bayi yang bisa berbicara dan mengaji. Informasi ini menjadi buah bibir di masyarakat sampai menjadi berita di surat kabar. Adam Malik dan Tien Soeharto pun mendengar informasi ini dan memanggil Cut Zahara. Ketika pertemuan itu terjadi, Adam Malik dan Tien mendengarkan suara janin membaca Al Quran. Peristiwa ini pun menjadikan kabar tersebut menjadi semakin besar. Namun ternyata kabar ini dibantah oleh dokter bernama Herman yang mengatakan bahwa janin belum bisa bernapas dan mengeluarkan suara. Pernyataan ini mendapat ancaman. Namun seiring berjalannya waktu, kedok tersebut terbongkar dan ternyata Cut Zahara memasang tape recorder di perutnya.
Masa Presiden Megawati
Ramai informasi mengenai harta karun milik Prabu Siliwangi yang terpendam di Batu Tulis, Bogor. Bahkan Menteri Agama Said Agil Al Munawar menyampaikan informasi ini pada Megawati. Dan Megawati menunjuk Said Agil sebagai pemimpin untuk menggali harta karun tersebut agar bisa melunasi utang Indonesia. Setelah melakukan penggalian akhirnya proses tersebut dihentikan dan harta karun tidak ditemukan.
Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Tahun 2008 Indonesia dihebohkan mengenai kabar air menjadi bensin (blue energy). Penemunya bernama Joko Suprapto, menerima bantuan 10 miliar dan mendirikan pabrik blue energy di Cikeas atas hasil presentasi yang dilakukannya di depan presiden. Universitas Gadjah Mada melawan pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa informasi tersebut adalah bohong. Akhirnya Joko meminta maaf dan menjadi tersangka di Polda DI Yogyakarta karena tidak bisa mengubah air menjadi bensin.
Waspada Hoaks di Media Sosial
Perkembangan teknologi dan semakin gencarnya penggunaan media sosial membuat peredaran hoaks di masyarakat semakin subur. Jika diamati, hoaks yang beredar dari masa ke masa menunjukkan adanya pola yang berulang. Hoaks diproduksi, lalu dengan sengaja disebarkan oleh pembuatnya.
Jika diamati lagi, terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah penemuan internet. Sebelum adanya internet, hoaks umumnya diciptakan dan disebarkan secara sengaja oleh individu. Individu yang membuat hoaks ini cenderung dapat dilacak dan diketahui secara luas. Hoaks di zaman internet selain penyebarannya masif juga tidak diketahui siapa yang membuatnya. Salah satu penyebabnya adalah dalam ekosistem internet semua bercampur menjadi satu antara produsen pesan, penyalur, dan juga yang mengonsumsi pesan itu sendiri.
Jadi, selalu waspada dengan hoaks yang diterima melalui berbagai saluran.***
- Published in Posts
Flexing, Wajar tapi…
Penulis: Cahya Suryani
Editor: Violita
Reviewer: Heni Mulyati
Fenomena Flexing
Perilaku bermedia sosial saat ini tidak terlepas dari konten berbagi. Tidak hanya berbagi informasi, berbagi pendapat, tetapi juga berbagi gaya hidup. Beberapa waktu lalu linimasa heboh dengan pemberitaan mengenai Mario Dandy anak pegawai pajak. Kasus Mario Dandy yang ramai tidak hanya mengenai pemukulan terhadap mantan pacarnya (Ag) tapi juga kasus flexing yang akhirnya menyeret harta kekayaan orang tuanya. Tidak hanya Mario Dandy, crazy rich lainnya pun sering kali membuat konten pamer outfit yang harganya jutaan bahkan ratusan juta, pamer jumlah saldo, ataupun pamer aksesoris yang sedang digunakannya. “Outfit yang gue pakai murah aja lho” sembari menyebut barang mewah berharga jutaan bahkan ratusan juta. Aksi pamer ini adalah bentuk flexing.
Flexing adalah perilaku memamerkan kemewahan, kekayaan melalui media sosial dengan tujuan mendapatkan pengakuan atau menarik perhatian orang lain. Perilaku ini seringkali berhubungan dengan gaya hidup individu yang diperoleh secara instan dan mudah tanpa melihat aspek kerja keras. Aspek lain dari flexing adalah pengakuan yang erat kaitannya dengan eksistensi diri. Remaja bahkan orang dewasa pun akan merasa memiliki nilai superioritas dan harga diri yang tinggi saat berhasil pamer kekayaan.
Flexing bukan fenomena baru, namun karena teknologi internet, perilaku ini semakin mudah dan masif menyebar melalui konten-konten yang dibuat oleh pengguna media sosial. Sewaktu belum ada internet, orang harus memamerkan secara langsung pada individu lain dan hal tersebut membutuhkan waktu dan tenaga. Kini individu dapat dengan mudah memamerkannya. Membuat konten foto atau video lalu mengunggahnya di media sosial, dan semua orang dapat melihatnya.
Sebenarnya, perilaku memamerkan keberhasilan, pengalaman ataupun aktivitas adalah hal biasa. Namun akan menjadi sebuah alarm psikologis jika dilakukan secara berlebihan dan melihat perilaku pamer sebagai bentuk eksistensi diri. Kehidupan di dunia nyata dan dunia maya seringkali berbeda. Saat individu mulai menampilkan kehidupan “wow” di dunia maya, saat itu pula dia berisiko terkena gangguan psikis. Individu yang selalu ingin eksis di dunia maya seringkali menutupi kelemahan atau kekurangan yang dimiliki di dunia nyata, di mana dia akan menampilkan superiority karena rasa inferiority.
Jika ditelaah lebih jauh, perilaku flexing ini tidak hanya dilakukan oleh generasi tertentu namun juga dilakukan oleh generasi lainnya. Anekdot yang berkembang bahwa generasi Z gemar flexing. Namun kenyataannya saat membuka media sosial, flexing juga dilakukan oleh generasi sebelum Z. Selain faktor rasa ingin diakui (superiority), flexing juga bisa dilakukan karena rasa tidak nyaman dengan kehidupan di dunia nyata, sehingga individu tersebut bisa menciptakan dunianya sendiri di ruang maya. Faktor ini berhubungan dengan dorongan ingin tampil berbeda dengan orang lain, memiliki harga diri yang rendah dan kesepian. Harga diri yang rendah bisa diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan pada diri akan kemampuannya. Flexing berlebihan yang dilakukan individu bisa membuat individu tersebut sombong dan merasa superior sehingga ada dorongan untuk mendapatkan perlakuan yang berbeda dari yang lain, mengakibatkan rasa arogan dan ingin mendominasi individu lainnya.
Dua Sisi Konten Flexing
Beberapa waktu lalu fenomena flexing ini dimulai dari konten-konten selebriti yang diunggah melalui platform media sosial mereka. Masyarakat mulai terpapar perilaku flexing yang dilakukan selebriti. Akun-akun media konvensional maupun akun gosip memberitakan gaya hidup selebriti yang dulunya hanya individu biasa namun saat ini memiliki kekayaan berlimpah. Influencer baru mulai bermunculan dengan konten–konten di media sosial yang menonjolkan kekayaan secara instan. Kehadiran internet khususnya platform media sosial memberikan kesempatan pada semua individu untuk tampil dan menjadi “superior”.
Di satu sisi, masyarakat masih belum memiliki pemahaman bahwa konten yang dibuat oleh selebriti bukanlah kondisi real mereka. Masyarakat mengira yang dibuat konten oleh selebriti adalah sesuatu yang nyata. Padahal konten-konten tersebut tidak lepas dari bagian pekerjaan mereka di dunia entertainment yakni menghibur orang. Semua individu pasti memiliki rasa iri dan akan melakukan perbandingan seperti “Kok dia bisa, sedangkan aku tidak?” ketika perasaan itu muncul individu akan memiliki dorongan untuk melakukan hal yang mirip atau bahkan sama, dan kesamaan dari perilaku tersebut hanyalah berupa duplikasi dari konten orang lain.
Perilaku flexing yang awalnya memiliki tujuan untuk disanjung dapat berbalik menjadi hujatan. Sudah banyak influencer media sosial yang awalnya disanjung karena keberhasilan usahanya pada akhirnya berubah menjadi hujatan dan komentar kebencian dari netizen. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun kehidupan yang positif, menampilkan kesederhanaan dan apa adanya. Tidak ada yang salah dengan membagikan pengalaman dan keberhasilan, tapi tidak menjadikan hal tersebut hanya sebagai bentuk eksistensi diri. ***
- Published in Posts
Laporan Pemetaan Hoaks Tahun 2021
- Published in Posts
- 1
- 2